Film  

Maria Kristin: ‘Paksaan’ Berbuah Medali Olimpiade

Perjalanan saya menjadi atlet bulutangkis Indonesia penuh jalan terjal. Mulai karena

Jakarta, CNN Indonesia

Perjalanan saya menjadi atlet bulutangkis Indonesia penuh jalan terjal. Mulai karena ‘terpaksa’ hingga jatuh cinta. Sempat down dan berniat berhenti, tapi akhirnya bisa bangkit dan meraih prestasi.

Perkenalan saya dengan bulutangkis dimulai sejak usia enam tahun. Peran besar ayahlah yang mengantar saya hingga yakin memilih jalan hidup sebagai pebulutangkis.

Ayah saya bukan seorang atlet. Dia hanya pencinta bulutangkis. Tapi anehnya sebelum punya anak, dia sudah merancang agar saya kelak bisa jadi atlet bulutangkis nasional.

Itulah kenapa saya merasa dipaksa jadi atlet. Karena bapak memaksakan impiannya kepada saya sejak kecil.

Sebagai anak, semula saya hanya manut orang tua. Belum berani menolak. Dari usia enam tahun sudah diajari teknik badminton bapak. Bukan sekadar main untuk senang-senang.

Ketika kelas 4 SD atau sekitar 10 tahun, bapak mulai memasukkan saya ke tempat latihan bagi para pemula di Kudus. Setahun kemudian kami pindah ke Jember dan mulai masuk klub badminton.

Tahun 1998 bapak bawa saya ikut tes audisi PB Djarum di Kudus. Puji Tuhan bisa lolos dan tergabung di salah satu klub badminton ternama di Indonesia.

Jadi, jalan hidup saya sebagai atlet bulutangkis itu mungkin impian bapak yang tidak kesampaian. Bukan karena pilihan sendiri. Hehehe…


Maria Kristin tunggal putri terakhir dari Indonesia yang sukses raih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. (AFP/INDRANIL MUKHERJEE)

Saya baru benar-benar jatuh cinta bulutangkis saat SMA atau ketika menginjak usia remaja sekitar 15-16 tahun. Mungkin itu terjadi pada tahun 2000, di mana saya merasa bulutangkis bisa jadi masa depan saya.

Karier saya meningkat terbilang cepat hingga dua tahun kemudian dipercaya masuk pelatnas tim bulutangkis Indonesia untuk tunggal putri. Saya makin rutin bermain di ajang internasional meski harus memulai di level yang rendah.

Namun bencana datang di tahun 2004. Saya mengalami cedera lutut kanan. Rasanya nyeri sekali dan cedera itu sering muncul dan cukup mengganggu performa saya di lapangan.

Mental saya juga sempat down karena sulit juara saat membawa nama Indonesia. Performa saya masih naik-turun dan merasa belum matang karena sering kali mentok di babak 16 besar atau 8 besar di kejuaraan badminton super series. Ini yang membuat saya tidak yakin dengan diri sendiri.

Saya sempat berpikir berhenti jadi atlet karena ternyata meraih prestasi internasional itu susahnya minta ampun. Tapi Tuhan punya rencana berbeda. Gelar yang saya impikan terwujud di SEA Games 2007 dengan menyabet dua emas sekaligus. Masing-masing di nomor tunggal putri dan beregu putri.

Perjuangan saya meraih dua medali emas bukan perkara mudah. Saya harus melawan dua cedera. Selain lutut kanan yang sering kambuh, otot paha di bagian yang sama juga sobek atau hamstring.


GIF Banner Promo Testimoni

Saat itu saya harus berpikir logis dan tak mau membebani diri harus juara. Jadi main tidak terlalu beban.

“Sudahlah dijalani saja sebisa saya menahan sakit. Kalau tidak bisa ya sudah berhenti,” kata saya dalam hati.

Saya juga bermain tidak terlalu ngotot. Kalau masih bisa ya terus, kalau tidak bisa ya sudah. Eh, ternyata menang-menang terus, masuk final, hingga akhirnya meraih medali emas.

Ini menjadi perasaan yang luar biasa karena saya bertanding tidak dalam kondisi 100 persen. Prestasi inilah yang membuat kepercayaan diri saya makin meningkat.

Pulang dari SEA Games 2007, saya fokus memulihkan cedera karena ingin ambil bagian di Olimpiade Beijing. Puji Tuhan saya jadi salah satu pemain yang terpilih mewakili tunggal putri Indonesia di Olimpiade Beijing 2008.

Sayangnya cedera lutut saya belum pulih benar. Mungkin karena tim medis dan teknologi pendukungnya tidak sebagus sekarang, jadi saya tidak mau operasi. Khawatir nama saya dicoret dari tim Olimpiade jika belum pulih pascaoperasi.


Indonesia's Maria Kristin Yulianti tries to pickup a drop shot against Malaysia's Jing Yee Tee during the Uber Cup badminton championships in Kuala Lumpur on May 12, 2010. AFP PHOTO/Saeed KHAN (Photo by SAEED KHAN / AFP)Maria Kristin sering dihadapkan cedera lutut kambuhan. (AFP/SAEED KHAN)

Jadi saya pilih tetap bertahan dengan kondisi yang ada. Hanya saja latihan diatur. Intensitasnya dikurangi sesuai dengan kondisi lutut saya. Misalnya dalam seminggu, dua harinya saya tidak latihan fisik yang keras. Tapi ditambah latihan teknik.

Di Olimpiade saya juga tanpa target. Dalam hati saya: “Kalau kambuh parah ya sudah berhenti.”

Cedera lutut kambuhan ini bukan karena jatuh, tapi bantalan lututnya habis. Bisa dibilang karena terus dipakai latihan berat hingga tulang ketemu tulang jadi terkikis dikit-dikit. Naik tangga saja kadang-kadang terasa sakit. Pokoknya kondisi saya tidak normal saat itu.

Tapi saya kalau sudah bertekad maksa ya lanjut terus. Kalah atau menang urusan nanti!

Dari awal berangkat saya memang tidak ditargetkan medali karena pesaing lainnya 10 besar dunia yang rata-rata berasal dari tuan rumah China. Otomatis peluang mereka lebih besar dari saya.

Tapi pelatih bilang jangan berhenti bermimpi meski tidak ada target. Jangan hanya jadi partisipan tapi tetap harus berjuang dan melakukan yang terbaik.

Di semifinal saya kalah dua gim langsung dari Zhang Ning yang akhirnya sukses meraih medali emas. Setelah pertandingan saya sudah down. Tapi setelah keluar lapangan pelatih saya, Kak Hendrawan, memberikan pesan mendalam.

“Perjuangan belum selesai. Kamu sekarang tinggal pilih, mau dikenal sebagai semifinalis Olimpiade atau peraih medali perunggu Olimpiade di Beijing?”

Ketika kembali ke hotel, kata-kata itu terus menggerayangi pikiran saya. Saya jadi kepikiran terus dan memantapkan pilihan untuk berusaha merebut medali perunggu. Momen yang belum tentu bisa terulang kembali.

Baca di halaman berikutnya>>>



Perjuangan Melawan Cedera hingga Pensiun Muda

BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Sumber: www.cnnindonesia.com